Ragam – The Satanic Verses karya Salman Rushdie adalah salah satu novel paling kontroversial di dunia, terutama di kalangan Muslim. Sejak penerbitannya pada tahun 1988, novel ini memicu gelombang protes dan kemarahan dari komunitas Muslim di seluruh dunia yang menilai isinya menghina agama Islam dan Nabi Muhammad.
Plot Cerita
Kisah dimulai dengan serangan teroris di sebuah pesawat menuju Inggris. Saat ledakan terjadi, dua tokoh utama, Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha, selamat meskipun terlempar dari langit dan “jatuh” ke bumi. Namun, mereka mengalami transformasi mistis selama proses jatuh tersebut.
Gibreel mengambil persona malaikat Jibril (Gabriel), sedangkan Saladin berubah menjadi sosok mirip setan.
Gibreel adalah seorang aktor Bollywood ternama yang sering memerankan dewa-dewa Hindu, tetapi kini ia mengalami krisis keimanan yang mendalam.
Sementara itu, Saladin, seorang imigran asal India yang berprofesi sebagai pengisi suara, sedang berusaha beradaptasi dengan budaya Inggris dan menghadapi pergulatan identitas.
Perubahan ini membawa keduanya ke dalam konflik spiritual dan identitas yang semakin rumit. Setelah insiden tersebut, Gibreel mulai mengalami visi yang menyerupai mimpi, yang menjadi bagian paling kontroversial dari novel ini.
Dalam salah satu visinya, Gibreel menyaksikan seorang nabi bernama Mahound, yang diduga merepresentasikan Nabi Muhammad.
Mahound tinggal di kota fiktif Jahilia, yang dianggap sebagai simbol dari Mekah. Dalam kisah ini, Mahound diceritakan hampir menerima wahyu dari sosok setan yang menyamar sebagai Tuhan.
Ayat-ayat yang muncul dari pertemuan ini dikenal sebagai “ayat-ayat setan,” yang kemudian ditarik kembali oleh Mahound setelah menyadari kesalahannya.
Sementara itu, Saladin, yang merasa dirinya telah “lahir kembali” sebagai sosok setan, mengalami konflik identitas yang semakin mendalam.
Transformasi fisiknya yang berwujud iblis mencerminkan perjuangannya untuk memahami siapa dirinya di tengah dua budaya yang bertentangan.
Kebencian terhadap Gibreel pun tumbuh, karena Saladin menganggapnya bertanggung jawab atas penderitaannya. Konflik antara keduanya menggambarkan pertentangan antara identitas dan kepercayaan yang dihadapi kedua karakter.
Reaksi Dunia Islam
Di dalam novel, terdapat tokoh-tokoh yang dianggap sebagai representasi tokoh-tokoh penting dalam agama Islam, yang bagi sebagian besar umat Muslim dianggap melecehkan.
Misalnya, dalam cerita terdapat adegan tentang “satanic verses” (ayat-ayat setan), sebuah istilah yang merujuk pada momen di mana Nabi Muhammad konon menerima wahyu dari setan, bukan dari Tuhan.
Kisah ini dianggap tidak hanya menghina Nabi Muhammad, tetapi juga menodai kesucian wahyu dalam Islam.
Kemarahan umat Muslim terhadap The Satanic Verses bukan hanya soal isi, tetapi juga cara Rushdie menggambarkan tema agama yang dianggap menyepelekan nilai-nilai sakral Islam. Bagi banyak orang, novel ini adalah bentuk penghinaan yang disengaja terhadap agama.
Di negara-negara mayoritas Muslim seperti Iran, Pakistan, Arab Saudi, dan Mesir, buku ini dilarang, demonstrasi besar terjadi di berbagai tempat, yang kadang-kadang berujung pada kerusuhan dan kekerasan.
Pada tahun 1989, Ayatollah Khomeini, pemimpin tertinggi Iran saat itu, mengeluarkan fatwa yang menyerukan umat Muslim untuk membunuh Rushdie sebagai hukuman atas penghinaan yang dituduhkan dalam novelnya.
Fatwa ini mengakibatkan Rushdie harus hidup dalam persembunyian dan perlindungan ketat selama bertahun-tahun.
Dampak pada Hubungan Antarbudaya
Kontroversi The Satanic Verses membawa dampak besar pada hubungan antara dunia Islam dan Barat. Buku ini menjadi simbol bagi sebagian Muslim tentang bagaimana Barat seringkali tidak memahami atau bahkan mengabaikan sensitivitas agama mereka.
Di sisi lain, bagi masyarakat Barat, kejadian ini menggarisbawahi pentingnya memahami batas-batas toleransi dan perbedaan pandangan budaya.
Kesimpulan
Buku The Satanic Verses adalah novel yang secara eksplisit membahas tema agama dan kepercayaan dengan cara yang provokatif.
Melalui kisahnya yang kompleks dan penuh simbolisme, Rushdie menawarkan perspektif yang dianggap sebagian pihak sebagai kritik terhadap agama.
Meskipun Rushdie sendiri menyatakan bahwa novelnya adalah karya fiksi yang mengeksplorasi isu-isu identitas dan kebebasan berkeyakinan, banyak yang merasa bahwa buku ini terlalu jauh dalam penggambaran sensitif tentang tokoh-tokoh agama.
*Dari Berbagai Sumber