Ragam – Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) hadir sebagai upaya modern untuk menyatukan umat Islam dalam satu sistem penanggalan yang seragam secara global. Gagasan ini lahir dari kebutuhan umat akan kepastian waktu ibadah, terutama untuk Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha di tengah realitas dunia yang semakin terhubung.
Namun, KHGT tak luput dari kritik, terutama dari mereka yang berpijak pada paradigma rukyat lokal.
Bagi Muhammadiyah, kritik terhadap KHGT bukanlah hal yang perlu ditolak, justru disambut sebagai bagian dari dinamika keilmuan. Kritik semacam ini menjadi cermin perbedaan sudut pandang dalam memahami dalil dan fenomena astronomi.
Salah satu kritik utama terhadap KHGT adalah anggapan bahwa sistem ini “memaksakan” awal bulan Hijriah secara global.
Artinya, ada wilayah yang harus memasuki bulan baru meskipun hilal belum terlihat di sana, dan sebaliknya, ada wilayah yang harus menunda meskipun sudah melihat hilal. Situasi semacam ini paling sering terjadi ketika posisi hilal masih di bawah ufuk di kawasan timur.
Pihak yang mengkritik biasanya berpegang pada pendekatan rukyat lokal yaitu bulan sabit harus terlihat secara fisik sebagai syarat sah masuknya bulan baru.
Sementara itu, KHGT mengusung pendekatan berbasis realitas astronomi dan kesatuan matlak global, bukan semata-mata ketampakan visual.
Perbedaan Paradigma: Fisik vs Eksistensial
Dalam tradisi fikih klasik, ketampakan hilal menjadi patokan utama. Hilal harus di atas ufuk dan dapat dilihat, atau setidaknya memenuhi kriteria imkanu rukyat.
Namun, banyak literatur fikih yang membahas matlak global tidak secara mendalam menjelaskan aspek saintifik dari fase bulan. Inilah yang membuat perlu adanya penjelasan ulang, terlebih bagi mereka yang masih mengedepankan pendekatan visual-lokal.
Menurut pakar falak Muhammadiyah, Arwin Juli Rakhmadi Butar-butar, pendekatan KHGT dapat dijelaskan melalui tiga fondasi ilmiah berikut:
1. Fase Bulan Adalah Fenomena Global
Bulan mengalami fase-fase yang bersifat global, sementara ketampakan hilal hanya bersifat lokal. Setelah terjadi konjungsi (ijtima’) yakni titik ketika bulan dan matahari sejajar, hilal secara astronomis sudah mulai eksis, walaupun belum terlihat oleh mata manusia.
Allah berfirman dalam QS. Yasin (36):39:
“Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bulan sehingga setelah sampai ke tempat peredaran yang terakhir, kembalilah ia seperti tandan tua.”
Dalam konteks ini, meskipun hilal berada di bawah ufuk di suatu tempat, keberadaannya tetap sah secara global. KHGT menempatkan ini sebagai pijakan untuk menentukan awal bulan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya